Kritik Keliru ‘Tanpa Ragi’ : “Sin Boldly!”

YouTube Channel “Tanpa Ragi” (TR) mengunggah video kritiknya terhadap Martin Luther dengan judul “SISI GELAP MARTIN LUTHER YANG PERLU KITA KETAHUI.” Ia membahas hal-hal yang ia tidak setuju pada Martin Luther dan ia labeli sebagai “Sisi Gelap.” Judul video atau artikel seperti ini biasanya segera memberi kesan bahwa penulis adalah orang yang terbuka (open-minded). TR mengakui dirinya Protestan dan ia menganggap dirinya terbuka untuk segala fakta. Tentu itu adalah sikap yang baik dan harus kita tiru. Kita tidak boleh berpura-pura ataupun berdusta. Kita tidak boleh menyembunyikan fakta yang tidak kita senangi. Dan kita juga tidak boleh hanya ingin mendengar apa yang ingin kita dengar. Kita harus membuka telinga untuk segala hal agar wawasan kita semakin luas dan agar kita jujur dalam menilai tiap-tiap perkara. Sikap ini pula yang ingin saya peringatkan pada diri saya, diri saya, diri saya, TR, para penononton video-video TR, dan para pembaca. Marilah kita sebagai orang Kristen saling mengingatkan satu sama lain, sembari saling berbagi pengetahuan sebagaimana yang dilakukan TR.

Saya adalah seorang Lutheran dan pengetahuan saya tentang Martin Luther masih sangat sedikit. Sebagai Lutheran, kami tidak pernah menganggap Martin Luther sempurna dan tidak menggantungkan kepercayaan kami padanya. Doktrin Kristen yang tertulis dalam Buku Konkord, meskipun sebagian besar mendapati penjelasan hebatnya dari Dr. Luther, tidaklah berarti bahwa kami adalah pengikut Luther. Bahkan Luther sendiri tidak nyaman jika namanya digunakan untuk menamai suatu kalangan. Seperti istilah “Kristen” yang dulunya adalah ejekan, istilah “Lutheran” juga pada awalnya adalah ejekan dari John Eck, salah seorang penentang keras Luther. Dia menggunakan istilah itu untuk mengejek orang-orang yang setuju pada pengajaran Luther meskipun mereka tidak menganggap Luther sebagai seorang pendiri gereja baru sebagaimana yang terus-menerus dituduhkan orang lain kepadanya dan teman-temannya. Satu karakteristik substansial agar seseorang dapat menjadi Lutheran—selain menganut Buku Konkord sebagai intisari interpretasi terakurat Kitab Suci—adalah bahwa ia tidak menuhankan Martin Luther dan harus siap sedia menyalahkan Luther kapanpun ia salah. Seorang Lutheran tidak sulit mengatakan “Saya tidak setuju pada Luther.” Namun demikian, menurut pengetahuan saya yang sedikit ini, saya tidak percaya bahwa TR telah memberi keadilan pada Luther. Dengan kata lain, sekali lagi menurut pendapat saya, TR tidak memberi penilaian berimbang. Saya akan mencoba memberi tanggapan semampu saya secara bertahap dalam artikel terpisah. Meskipun saya tidak setuju pada sebagian besar kritik TR, saya setuju pada beberapa hal. Pembaca dapat subscribe blog ini untuk mengikuti bagaimana saya memberi tanggapan terhadap video tersebut.

Tadinya saya ingin tulis tanggapan saya di kolom komentar YouTube. Namun, tampaknya di sana akan tenggelam jika like-nya hanya sedikit. Saya putuskan menulisnya di blog saya dan mengembangkannya, agar tertangkap oleh mesin pencarian Google dan dapat dibagikan secara terpisah tanggapan demi tanggapan. Tanggapan saya tidak akademik. Artinya, saya tidak merujuk literatur layaknya tulisan akademis karena itu akan memerlukan usaha yang lebih besar. Saya mohon maaf untuk itu. Saya selalu siap untuk diuji apakah yang saya sampaikan benar atau salah secara sarjana.


Pada artikel ini saya hendak membahas perkataan Luther yang dikritik TR sebagai salah satu Sisi Gelap Luther, yakni “Jadilah seorang berdosa, dan biarlah dosa-dosamu bertambah kuat.” pada menit 5:19. Terjemahan lain dari “biarlah dosa-dosamu bertambah kuat” adalah “Sin Boldly!” yang secara hurufiah berarti, “Berdosalah dengan kuat!” TR mengutipnya dengan akurat, namun versi lengkap surat tersebut dapat dilihat di sini dan versi yang lebih panjang dari perkataan Luther yang sedang kita bahas sebagai berikut:

If you are a preacher of mercy, do not preach an imaginary but the true mercy. If the mercy is true, you must therefore bear the true, not an imaginary sin. God does not save those who are only imaginary sinners. Be a sinner, and let your sins be strong, but let your trust in Christ be stronger, and rejoice in Christ who is the victor over sin, death, and the world. We will commit sins while we are here, for this life is not a place where justice resides. We, however, says Peter (2. Peter 3:13) are looking forward to a new heaven and a new earth where justice will reign. It suffices that through God's glory we have recognized the Lamb who takes away the sin of the world. No sin can separate us from Him, even if we were to kill or commit adultery thousands of times each day. Do you think such an exalted Lamb paid merely a small price with a meager sacrifice for our sins? Pray hard for you are quite a sinner. (Cetak tebal ditambahkan.)

Terjemahan bebas saya sebagai berikut:

Jika engkau [Melancthon] adalah pengkhotbah belas kasihan [Allah], janganlah mengkhotbahkan belas kasihan yang imajiner (palsu), melainkan belas kasihan yang sejati. Jika belas kasihan itu nyata, maka kau harus memikul dosa yang nyata, bukan dosa imajiner. Allah tidak menyelamatkan mereka yang merupakan pendosa dosa imajiner saja. Jadilah seorang pendosa, dan biarlah dosamu kuat. [Terj. Lain: Jadilah seorang pendosa, berdosalah dengan gagah (Sin Boldly!)], tetapi biarlah percayamu di dalam Kristus lebih kuat lagi, dan bergembiralah di dalam Kristus yang adalah Pemenang atas dosa, maut, dan dunia. Kita akan terus berdosa selagi kita ada di sini [dunia], sebab hidup ini bukanlah tempat dimana keadilan bersemayam. Bagaimanapun, kata Petrus (2Ptr. 3:13), kita sedang menatap pada Sorga yang baru dan dunia yang baru dimana keadilan akan memerintah. Cukuplah bahwa melalui kemuliaan Allah kita telah mengenal Anak Domba yang memikul dosa seluruh dunia. Tidak ada satupun dosa yang dapat memisahkan kita dari-Nya, bahkan jika kita harus membunuh atau berzinah beribu-ribu kali setiap hari. Menurutmu, apakah Anak Domba yang ditinggikan seperti itu hanya membayar harga yang kecil dengan pengorbanan yang sedikit untuk dosa-dosa kita? Berdoalah dengan keras sebab kau adalah pendosa hebat. (Cetak tebal ditambahkan)

Saya paham betul bahwa akan banyak orang keberatan dengan perkataan Luther ini: Sin Boldly! Saya tidak menyalahkan siapapun non-Lutheran yang keberatan atau terganggu dengan perkataan itu. Sebab Luther memang seakan-akan menyuruh jemaat untuk berdosa dan semakin berdosa. Luther seakan-akan mempermainkan belas kasihan Allah sebagai pembenaran untuk berdosa. Luther seakan-akan menjadikan kemurahan Allah sebagai premis untuk legalisasi berbuat dosa. Jika Luther memang bermaksud demikian, maka tak sepantasnya ada orang Kristen yang mendengarkannya berbicara. Kita harus sepakat untuk itu, sebab kita tidak membiarkan siapapun mempermainkan nama Allah secara sadar, sengaja, apalagi terbuka.

Namun demikian, apakah itu benar? Apakah benar bahwa Luther dengan teologinya tiba pada simpulan bahwa kasih karunia Allah adalah alasan kita untuk berbuat dosa? Jawaban ringkasnya adalah “Tentu saja tidak.” Kita bisa mengetahuinya bahkan dari keseluruhan surat tersebut. Alih-alih membenarkan dosa atau berdosa, Luther bahkan mengkritik Gereja Roma akan doktrin dan praktiknya yang adalah dosa keji terhadap Allah. Dalam surat itu, dia mengkritik gagasan bahwa Biarawan dan Imam tidak boleh menikah. Bagi Luther, surat Paulus 1 Timotius 4 adalah suara Sorga, Firman Allah. Allah sendirilah yang melarang kita untuk melarang pernikahan. Mempersilahkan seseorang untuk memilih untuk tidak menikah adalah satu hal, sedangkan melarang orang itu menikah adalah hal lain. Apabila Luther memang mengajarkan untuk semakin berdosa, maka seluruh suratnya tersebut menjadi tidak bermakna apa-apa. Sebab seharusnya Luther tidak perlu mengkritik Paus akan dosanya, sehingga Luther tidak perlu dituduh sebagai pembuat keributan bahkan sampai harus melibatkan Kaisar. Selain itu, dalam surat kepada anak rohaninya tersebut, Melanchthon, ia juga menegaskan kepada “Philip” (demikian Luther sering memanggilnya) bahwa Perjamuan Tuhan adalah roti dan anggur dan bukan hanya roti. Sebab Firman Allah sendiri yang mengatakannya. Menentangnya sama dengan berdosa keji terhadap Allah. Lantas, jika Luther melawan dosa keji terhadap Allah, apakah Luther memang mengajarkan Philip untuk berdosa lagi dan lagi?

Bukti terkuat dalam surat tersebut terdapat pada kalimat terakhir kutipan di atas, sekaligus kalimat terakhir dalam surat: “Berdoalah dengan keras sebab kau adalah pendosa hebat.” Alih-alih menggiring Melanchthon untuk acuh tak acuh akan dosanya, Luther justru memperingatkannya bahwa dia adalah pendosa hebat. Bagi Luther (dan Lutheran), tidak ada toleransi sedikitpun terhadap dosa. Satu dosa kecil cukup mengantarkan kita ke Neraka. Jika satu dosa kecil berarti Neraka, maka banyak dosa besar adalah alasan yang berlimpah-limpah bagi Allah untuk membawa kita ke sana. Begitu mudah murka Allah tersulut sehingga Dia tidak membiarkan manusia membubuhkan api yang asing di Mezbah-Nya. Namun demikian, betapapun besarnya dosa kita satu per satu, dikumpulkan dari seluruh penjuru dunia dan dari seluruh zaman; penderitaan dan kematian Kristus Sang Anak Domba untuk penebusan seluruh umat manusia tanpa terkecuali, masih lebih besar. Inilah poin Luther. Luther tidak sedang menyasar ‘dosa’-nya, melainkan ‘belas kasihan’-nya. Itu sebabnya Luther mengawali paragraf itu, “Jika engkau adalah pengkhotbah belas kasihan . . .” Sebagaimana Injil hanya dapat diberitakan setelah memberitakan Hukum, demikian pula kemahabesaran belas kasihan Allah itu hanya dapat dilihat setelah kita melihat betapa besarnya dosa yang ditanggung oleh Kristus Tuhan kita.

Rev. Matthew Zickler dalam tulisannya di website LCMS (Lutheran Church – Missouri Synod) menyebutkan bahwa Luther adalah seorang Pastor (Pendeta) dan dalam surat itu sedang bekerja sebagai Pendeta bagi anak rohaninya, Melanchthon. Ia sedang menghiburkan Melanchthon yang putus asa karena dosa tertentunya. Dalam dosa itu, Luther mengingatkan Melanchthon bahwa dia harus memandang dirinya sebagai pendosa, sebab bagi pendosalah Kristus datang ke dunia mengerjakan keselamatan. Menutup surat itu, Luther menulis “Biarlah dosamu semakin kuat” (Sin boldly!) agar Melanchthon menyadari bahwa dosanya begitu kuat, tetapi imannya di dalam Kristus harus lebih kuat. Kristus lebih besar daripada dosanya dan Luther ingin agar anaknya sekaligus Guru Bahasa Yunani-nya itu selalu mengingat hal itu.

Rev. Robert E. Smith, Pastor LCMS, dalam blog yang beliau kelola bersama rekan-rekan Pendetanya juga menulis bahwa dalam dunia berdosa ini, orang-orang Kristen tidak akan pernah terbebas dari dosa. Adam Lama adalah perenang handal. Dia memang tenggelam dalam Baptisan (Luther dan Lutheran percaya bahwa Baptisan menyelamatkan, sebagaimana yang dikatakan Kitab Suci), namun ia tidak akan menyerah tanpa adanya pertarungan hebat. Sebagai orang Kristen, kita harus terus ingat menatap kepada Yesus. Dia memikul segala dosa nyata kita di atas kayu Salib, tidak hanya dosa ecek-ecek. Di sana Dia membayar dengan harga penuh untuk dosa kita dan menghapusnya selamanya. Dalam Kristus, kita mati untuk bangkit kembali pada akhir zaman tanpa dosa.

Perkataan kontroversial Luther tersebut tidak lain daripada retorikanya untuk 1 Yohanes 1:9,

Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.

Bagi Luther (dan Lutheran), tidak ada dosa yang dapat memisahkan kita dari Allah apabila kita mengakuinya di hadapan-Nya. Penentunya adalah “pertobatan.” Bagi Luther (dan Lutheran), pertobatan adalah penyesalan akan dosa dan iman kepada Kristus (contrition + faith). Ini dapat dilihat dalam Konfesi Augsburg artikel XII yang ditulis oleh Philip Melanchthon namun seluruhnya merupakan teologi Luther. Meskipun Anak Domba jauh lebih besar daripada seluruh dosa setiap manusia dari setiap ruang dan waktu, orang yang menyesali dosanya dan percaya akan Injil-lah yang diberikan pengampunan. Oleh karena itu, apabila Luther memang benar-benar mengajarkan bahwa kita harus semakin berdosa—padahal semakin berdosa berarti ketiadaan penyesalan akan dosa—maka Luther kontradiktif pada dirinya sendiri. Tentulah tidak demikian adanya. Luther paham betul apa yang ia katakan, dalam konteks apa ia berkata-kata, dan kepada siapa ia berbicara. Catat kembali bahwa itu adalah surat, bukan dokumen yang ditujukan kepada publik seperti “95 Tesis.” Ia menulis secara personal dan privat kepada anak rohaninya dan dengan gaya bahasanya. Ia tahu, si jenius Philip Melanchthon tidak akan memahaminya secara bodoh seperti para penentangnya pada masanya, masa setelahnya, dan masa kini, termasuk orang-orang yang menghalau dirinya untuk mempelajari isu ini secara lebih mendalam seperti YouTube Channel “Tanpa Ragi.”

Pada tahun 1530an, terjadi polemik teologis intra Lutheran yaitu “antinomianisme” yang berbunyi bahwa orang percaya (Kristen) tidak lagi perlu diberitakan Hukum. Gagasan ini adalah konsekuensi logis-sekilas dari teologi Luther bahwa Injil benar-benar memerdekakan tanpa syarat apapun. Yang menginisiasinya adalah murid sekaligus teman Luther sendiri, Johann Agricola. Jika Luther benar-benar mengajari jemaat untuk berbuat dosa, maka ia tidak mungkin melawan Agricola dengan keras.

Luther juga menulis Katekismus Kecil yang komponen pertamanya adalah Dasa Titah. Ia merombak sistematika Agustinus dimana Pengakuan Iman Rasuli-lah yang pertama, bukan Dasa Titah. Seperti kita tahu, Dasa Titah adalah rangkuman dan ujung-ke-ujung Firman Allah yang memerintahkan kita untuk takut, cinta, dan percaya pada-Nya beserta segala elaborasi-elaborasinya. Jika Luther memang benar-benar mengarahkan kita untuk berdosa besar, Luther tidak akan menulis Katekismus Kecil sedemikian rupa, tetapi justru hanya membahas secara salah mengenai besarnya kasih Allah atau “Allah tidak marah padamu” seperti yang dilakukan kalangan tertentu dari Protestan. Luther juga menulis Katekismus Besar yang dalam setengah buku isinya adalah ulasan tentang Dasa Titah. Di situ dia begitu keras melawan kebejatan-kebejatan ‘normal’ yang terjadi di lingkungannya. (Doktrin Gereja Sola Fide (bukan doktrin Luther) begitu sering disalahartikan karena hanya mencomot satu perkataan Luther lalu menginterpretasinya sendiri.) Lantas, sekali lagi, apakah benar bahwa Luther memang mengajarkan seseorang untuk berdosa dan semakin berdosa? Kita boleh saja tidak nge-fan pada Luther. Tetapi kita berbohong pada diri kita sendiri kalau tetap menjawab ‘ya’ setelah mendengar fakta tersebut.

Salah satu kunci memahami perkataan Luther tersebut adalah karakter retorika Luther. Dia adalah seorang retoris, sehingga bahkan 95 Tesis ditulis dengan struktur retorika yang dari Cicero (Lihat Timothy J Wengert “Martin Luther’s Ninety-Five Theses: With Introduction, Commentary, and Study Guide“). Terlepas dari itu, Luther, kalau tidak selalu, hampir selalu berkata-kata dengan wording yang ekstrem, sehingga orang-orang yang tidak mengenalnya dengan baik dapat segera salah paham. Inilah sebabnya, perlawanan Luther terhadap teologi abad pertengahan mengenai Baptisan yang ditentang Luther, justru disalahartikan oleh temannya sendiri, sehingga [temannya tersebut] tiba pada simpulan bahwa bayi tidak boleh dibaptis. Luther memuji karya tulis temannya, Melanchthon, “Loci Commune”, sebagai karya yang sangat baik dan harus dikanonkan bersama Alkitab. Apakah ia benar-benar memaksudkan hal itu? Tentu saja tidak. Itu tidak pernah terjadi dan memang tidak pernah dimaksudkan untuk terjadi. Luther juga menulis “On Bound Choice” atau “Bondage of The Will” dengan bahasa yang ekstrem, sehingga Philip Melancthon merasa bahasa Luther dalam traktatnya yang melawan Erasmus tersebut cenderung membuat pembaca mengira bahwa Luther percaya bahwa Allah menciptakan dosa. Demikian pula Reformed menjadikan traktat tersebut sebagai ‘bukti’ bahwa Luther percaya pada Predestinasi Ganda (Double Predestination); padahal faktanya Luther tidak percaya TULIP. Demikian seringnya Luther berbahasa dengan ekstrem hingga membuat orang sering salah paham padanya dan para penentangnya menjadikan itu bahan untuk memfitnahnya. Apakah Luther blunder? Menurut saya tidak. Sebab sebenarnya blunder hanya terjadi pada gagasan, bukan kalimat yang digunakan untuk menyampaikan gagasan. Apakah karakter Luther menjadi beban bagi Lutheran? Tentu saja tidak. Itu urusan Luther dengan para penentangnya dan Tanpa Ragi. Lutheran tidak membela Luther untuk kalimat-kalimatnya dan justru membiarkan para penentangnya dan Tanpa Ragi mengkaji sendiri apa maksudnya. Sebab apa yang perlu bagi Lutheran adalah memberi keadilan untuk setiap perkara. Yang benar dikatakan benar, yang salah dikatakan salah, serta yang tidak dapat dinilai dikatakan tidak dapat dinilai. Inilah maksud saya menulis ini. Saya hanya ingin kita jujur dalam teologi dan studi. Pintu benar-benar terbuka lebar untuk kritik terhadap Luther, namun tidak untuk memasuki dusta.

Luther adalah retoris yang ekstrem sekaligus penuh dengan paradoks. Ia juga penuh dengan teka-teki, sehingga ia tidak dapat dibaca begitu saja tanpa memperbandingkannya dengan tulisannya yang lain. Seorang Luther Scholar, Franz Posset, dalam bukunyaLuther’s Catholic Christology“, setuju dengan Scholar lainnya bahwa memasuki dunia Luther itu seperti berlayar di Samudera. Luther begitu luas dan kompleks. Dalam bukunyaThe Real Luther“, Franz Posset juga mengatakan bahwa bahkan jika kita menguasi bahasa Jerman dan Latin untuk membaca manuskrip tulisan-tulisan Luther, kita masih “beginner” dalam dunia Luther Scholar. Apa yang ingin saya utarakan adalah bahwa perkataan Luther yang ekstrem dan/atau yang membingungkan tidak dapat kita interpretasi begitu saja apabila kita ingin mengenalnya dengan lebih akurat. Itu hanya valid apabila kita memang ingin mencari-cari kesalahan.

Perkataan Luther tersebut harus dipahami sebagai ‘indicative‘ dan bukan ‘imperative.’ Imperative misalnya, “Hormatilah ayahmu dan ibumu!” Indicative misalnya, “Kuduslah kamu sebab Allah kudus.” Kita tidak dapat menguduskan diri kita. Hanya Allah yang menguduskan kita dengan memberikan kita pengampunan dosa oleh karena Putra Tunggal-Nya saja. “Simul Justus Et Peccator” (SJEP) dan “Dosa Asali” adalah salah satu kunci untuk memahami teologi dan perkataan Luther. Ringkasnya, SJEP Luther (SJEP yang asli) berbunyi begini, “Orang Kristen sebagai orang Kristen tidak mampu berbuat dosa, namun pada saat yang sama, sebagai unbeliever tidak mampu tidak berbuat dosa.” SJEP tidaklah berarti ‘berganti-gantian’ bahwa detik ini berbuat dosa, beberapa detik lagi tidak berbuat dosa. SJEP Luther adalah paradoks, sebagaimana yang diterangkan Paulus dalam Roma 7. SJEP Luther sangat membantu kita memahami teologi Luther dan Lutheran serta kondisi dunia ini. Profesor Teologi Sistematika di Concordia Theological Seminary Fort Wayne Dr. David Scaer menjelaskan Pengudusan (Sanctification) dengan menggunakan SJEP Luther (dan Lutheran), sehingga perbedaan Lutheran dan Reformed dalam topik ini dapat kontras di telinga kita. Saya telah menerjemahkan artikel sangat bagus tersebut di sini. Saya juga menggunakan SJEP Luther untuk menjelaskan doktrin Gereja menurut teologi Lutheran dalam video di bawah ini, sehingga kita dapat memahami mengapa (1) doktrin adalah harga mati dan tidak dapat ditawar-tawar, dan (2) setiap orang Kristen, apapun denominasinya, adalah Kristen sejati.

SJEP berbunyi setiap orang Kristen memiliki dua realita sekaligus: (1) sebagai believer dan (2) sebagai unbeliever. Realita pertama terjadi oleh karena Kristus (Propter Christum), sedangkan realita kedua terjadi sejak kita dalam kandungan oleh Dosa Asali, yakni oleh diri kita sendiri. Kita dibenarkan di hadapan Allah hanya oleh karena Kristus tanpa perbuatan baik sama sekali. Inilah realita pertama. Tetapi realita kedua terus menerus menarik kita untuk berbuat dosa dan tujuan akhirnya adalah menjadikan kita sebagai unbeliever sejati (murtad), yakni hilangnya realita pertama. Realita kedua inilah yang sedang dirujuk Luther ketika mengatakan “Sin Boldly!” secara indicative. Dan saat Luther mengarahkan Melanchthon untuk melihat betapa besarnya belas kasihan Allah itu, ia sedang merujuk realita pertama. Realita kedua harus dilawan terus-menerus, jangan sampai menguasai realita pertama. Perlawanan ini dilakukan bukan dengan upaya manusia atau kesalehan yang dibuat-buat seperti asketisme, melainkan dengan Firman Allah, yakni Hukum, yakni yang terangkum dalam Dasa Titah. Inilah sebabnya Melanchthon, oleh pengajaran Luther, menulis dalam Apologi Konfesi Augsburg bahwa Hukum selalu mendakwa (Lex Semper Accusat). Luther menggolongkan fungsi Hukum Allah sebagai : (1) kekang, (2) cermin, (3) panduan. Sebagai kekang, Allah menggunakan Hukum-Nya dalam pedang Pemerintah untuk mengekang dosa. Sebagai cermin, Allah menggunakan Hukum-Nya untuk menyadarkan kita bahwa kita adalah manusia berdosa yang malang dan tidak dapat menyelamatkan diri kita sendiri. Sebagai panduan, Allah menggunakan Hukum-Nya untuk mengarahkan kita untuk hidup dalam kesalehan yang sejati. Fungsi pertama dan kedua hanya berlaku pada realita kedua, sedangkan fungsi ketiga hanya berlaku pada realita pertama. Kenapa? Sebab, seperti yang disebutkan di atas, orang Kristen sebagai orang Kristen tidak mampu berbuat dosa; namun pada saat yang sama, orang Kristen sebagai unbeliever, tidak mampu tidak berbuat dosa. Dengan demikian, perfeksionisme mustahil dicapai semasa hidup kita di dunia ini. Oleh karena itu, dengan teologi SJEP Luther dan bagaimana ia memandang tiga fungsi Hukum, apakah kita masih percaya bahwa ia memang mengajarkan kita untuk berdosa lagi dan lagi?

Lutheran akan berapologetika apabila Kristus difitnah. Tetapi mereka tidak akan melakukan itu apabila Luther yang difitnah. Sebab Lutheran tidak menggantungkan imannya kepada Luther. Tulisan-tulisan argumentatif seperti saya ini adalah untuk memperjuangkan kejujuran dan mengungkap fakta, bukan membela Luther, sebab sebagai orang Kristen kita membenci dusta. Biarlah kita menghakimi Luther secara adil dan tidak membiarkan kebencian kita padanya menguasai kita, sebagaimana yang sering terjadi pada para pembencinya.

Terakhir, apabila kita memang menyatakan Luther bersalah oleh karena perkataannya tersebut, maka layaklah Kristus Allah kita untuk kita nyatakan bersalah karena mengatakan, “Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi; Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang” (Mat. 10:34). Itulah salah satu alasan seorang Rabi Yahudi, dalam salah satu video YouTube yang pernah saya lihat, menjawab pertanyaan pewawancara mengapa mereka tidak dapat percaya kepada Yesus. Sama dengan mental para penentang Luther (dan TR?) yang mencomot-comot perkataan Luther, demikian pula Rabi tersebut mencomot-comot perkataan Kristus. Garis besar teologi Luther menjadi disamarkan, sebagaimana karya keselamatan Kristus menjadi tersamar bagi Rabi tersebut dan murid-muridnya; hanya karena comot-comot secara tidak rendah hati, tidak jujur, dan tidak logis. Ini bukan tentang mempersamakan Luther dan Yesus, sebagaimana mental kebanyakan orang Kristen hari ini saat membaca tulisan argumentatif. Ini tentang penilaian yang objektif. Ini tentang bagaimana sikap Kristen seharusnya. Shalom Aleichem.


Manuel Marbun – TIMBHO Owner

Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog di WordPress.com

Atas ↑