Merayakan Natal di Masa Adven? (Sebuah Diskusi)

Dari masa Sekolah Minggu hingga sudah bekerja, saya adalah orang yang menanti-nantikan bulan Desember. Desember adalah bulan yang penuh sukacita, selain karena liburan semester sudah dekat, juga karena semua orang Kristen merayakan Natal dari minggu ke minggu. Di gereja saya sendiri ada Natal ayah, Natal ibu, Natal marga, Natal remaja, Natal Sekolah Minggu, dll. Sementara itu, di kampus juga ada banyak perayaan Natal, diselenggarakan oleh hampir setiap organisasi mahasiswa jurusan, fakultas, universitas, hingga eksternal/ekstrakurikuler. Saya dan teman-teman dulu di bulan November sudah mencari informasi sebanyak-banyaknya mengenai jadwal perayaan Natal setiap organisasi mahasiswa. Kalau bisa, kami ingin menghadiri semuanya. Ini seperti petualangan! Seru! Apalagi jurusan Etnomusikologi: musik ibadah dan perayaan Natalnya sangat bagus. Saya juga masih ingat jurusan Teknik Mesin membuat Pohon Natal yang berputar. Keren! Waktu itu, paduan suara yang indah, menurut saya, adalah dari Teknik Sipil. Saya menikmati semuanya sebab semua perayaan Natal mahasiswa memberikan sukacita dan inspirasi tertentu.

Saya sendiri dari Matematika. Menurut saya, apa yang unik pada perayaan Natal Matematika adalah keseriusan kami dalam mengedepankan tema Natal. Kami mungkin tidak sehebat Etno dalam bermusik. Tapi saya percaya diri bahwa kami dapat merayakan Natal sebagai Natal. Tema yang kami angkat pada Natal 2010 adalah “Rumah Kita.” Siapa yang pernah merayakan Natal dengan tema lingkungan selain kami? Tidak ada! Tema Natal 2012 kami adalah “t ≠ T,” singkatan dari “teknologi bukan Tuhan,” suatu ajakan agar tidak diperhamba oleh teknologi yang semakin maju setiap tahunnya. Melalui perayaan Natal, kami berusaha mengeksposisi makna kelahiran Kristus ke dalam aspek-aspek kehidupan yang spesifik. Setiap perayaan Natal memberi kesan yang indah bagi saya. Kesan yang indah itu semakin tak terlupakan apabila kita menjadi panitianya sendiri. Pada tahun 2010, saya menjadi anggota Seksi Koor (Paduan Suara), pemusik gitar, dan conductor koor angkatan. Tahun 2011 saya kembali menjadi anggota Seksi Koor, pemimpin lagu, dan conductor koor angkatan. Tahun 2012 saya menjabat sebagai Koordinator Seksi Koor dan conductor Angkatan. Selama masa kuliah saya aktif dalam seksi koor, sebab koor menjadi hobi baru saya sejak kuliah dan saya bahkan sampai hapal semua not, Sopran, Alto, Tenor, dan Bass partitur yang kami nyanyikan. Saya memang tidak ahli, tapi saya dipercaya oleh teman-teman untuk ‘mengajar’ koor dengan kemampuan yang saya miliki. Saya belajar sesuatu dari koor, yakni partitur adalah alat keharmonisan dan keindahan. Meskipun keindahan paduan suara juga ditentukan oleh kemampuan individu per individu, namun partitur yang ditulis oleh komposer hebat akan dinikmati oleh siapa saja yang menyanyikan dan mendengarkannya. Selain pengalaman dalam paduan suara tersebut, saya juga meyakini bahwa jurusan adalah keluarga, sehingga meskipun jauh dari orang tua, sukacita Natal tidak pernah berkurang. Teman-teman jurusan menjadi keluarga baru buat saya dan saya tidak akan pernah berhenti merindukan mereka.

Namun sayangnya ada jerat. Bukan dalam bersahabat, namun dalam merayakan Natal. Sadar tidak sadar, perayaan Natal yang diselenggarakan oleh hampir setiap komunitas seperti itu telah menjadi ajang unjuk kebolehan. Perayaan Natal kini telah menjadi kesempatan untuk mengaktualisasi diri dalam berorganisasi, mengerjakan kepanitiaan, tampil di panggung, membuat dekorasi yang indah, bermusik dengan hebat, menampilkan drama yang lucu, memakai baju yang indah, menyediakan snack yang bergengsi atau suvenir yang tidak murah, atau bahkan menggunakan anggaran yang besar. Saya masih ingat ketika saya memotivasi Koordinator Publikasi, Dekorasi, dan Dokumentasi, “Banyak sedikitnya jemaat yang hadir ada di tanganmu.” Itu adalah bukti nyata bahwa saya sendiri telah membuat perayaan Natal sebagai ajang hebat-hebatan panitia, megah-megahan acara, dan banyak-banyakan hadirin. Saya membanding-bandingkan perayaan Natal yang satu dengan perayaan Natal yang lain. Mungkin ini adalah suatu kesalahan yang tidak disadari anak-anak muda dan orang tua.

Singkat cerita, saya sudah bekerja–di Jogja. Saya bergabung dengan muda-mudi gereja. Saat itu saya sudah menjadi seorang Calvinis sebagai salah satu perjalanan teologis saya sejak tahun 2016. Teologi adalah kesukaan saya saat itu (dan saat ini), sehingga sebagai salah satu anggota yang dapat dikatakan memiliki pengalaman yang lebih banyak (sebab sebagian besar anggotanya masih mahasiswa), saya memberi masukan tentang bagaimana seharusnya perayaan Natal itu. Apa yang benar yang telah komunitas saya lakukan di masa kuliah, saya teruskan di Jogja. Tetapi apa yang salah, saya tinggalkan. Sebab saya senang introspeksi diri, belajar, dan tidak malu-malu mengoreksi diri saya untuk sesuatu yang saya dapati lebih benar. Oleh karena itu, saya tidak peduli dengan jumlah jemaat yang akan hadir. Selain itu, saya juga meningkatkan muatan teologis dalam setiap mata acara, termasuk drama/fragmen. Mungkin saat itu hanya saya yang merayakan Natal dengan membuat fragmen Jalan Salib. Fragmen Jalan Salib memang tidak begitu ditekankan, sebab fokusnya tetaplah kelahiran Kristus. Namun, kelahiran Kristus bukanlah kelahiran yang tak terencana dan tanpa maksud-tujuan Allah. Tepat setelah manusia jatuh ke dalam dosa (kami juga mengadakan fragmen penciptaan dan kejatuhan dalam dosa), Allah telah merencanakan karya keselamatan. Ketika pemeran Hawa dan Adam menggigit buah yang dilarang, sound petir yang besar tiba-tiba muncul dan fragmen Jalan Salib dimulai dari depan gereja. Kami mendemonstrasikan bahwa Natal adalah bagian tak terpisahkan dari peristiwa Salib. Bersamaan dengan pesan itu, kami juga sedang menyampaikan makna bahwa besar acara Natal, maka harus lebih besar lagi acara Paskah. Bagi saya, sebagai seorang non-Lutheran waktu itu, perayaan Natal itu adalah karya terbaik saya dalam perayaan Natal. Namun sayangnya masih ada kekeliruan. Seteologis apapun perayaan Natal pada masa Adven, tetaplah ada tradisi yang lebih baik, yakni tidak merayakan Natal pada masa Adven. Gereja Lutheran tidak merayakan Natal pada masa Adven. Gereja Lutheran merayakan Natal pada masa Natal menurut kalender gerejawi yang berlaku universal, setidaknya pada Gereja Barat. Ini tidak berarti bahwa setiap jemaat setiap gereja Lutheran tidak merayakan Natal pada masa Adven. Adalah fakta bahwa gereja Lutheran menghadapi banyak pengaruh dari gereja non-Lutheran, dalam hal ini Protestan, yang membuat kalangan klerus (Pendeta) menjadi kewalahan dalam menggembalai mereka untuk tetap dalam tradisi yang historis. Bagaimanapun, merayakan Natal pada masa Adven bukanlah tradisi substantial Gereja Lutheran.


Tulisan ini saya maksudkan untuk mempresentasikan tradisi substantial Gereja Lutheran kepada pembaca dalam rangka menawarkan pemahaman yang segar untuk pembaca olah sendiri menjadi konsumsi pembaca sendiri. (Yang saya maksud dengan ‘substansial’ adalah ‘asli,’ atau ‘yang definitif.’) Ketika Gereja Lutheran berteologi, natur mereka adalah menawarkan teologi mereka kepada gereja lain. Mereka berteologi tidak untuk menekankan identitas “inilah kami,” mengontraskan diri dari gereja lain. Mereka berteologi untuk menekankan bahwa Sang Gereja adalah satu, kudus, katolik, dan apostolik yang di dalamnya terdapat kalangan Lutheran, kalangan Reformed, kalangan Karismatik, kalangan Katolik Roma, kalangan Ortodoks Timur, dan lain-lain. Saya perlu menggunakan artikel ‘Sang’ pada ‘Sang Gereja,’ untuk menekankan bahwa dalam teologi Lutheran, substansi Gereja bukanlah komunitas lahiriah dan kelihatan, melainkan spiritual (rohani). Sebab Kristus datang tidak untuk membangun kerajaan lahiriah, melainkan Kerajaan Sorga. Oleh karena itu, Gereja tidak didefinisikan dari denominasi, sinode, gedung, ketradisionalan, kemodernan, dan lain-lain.

Gereja Lutheran tidak eksklusif; dalam artian, menekankan bahwa hanya ia yang diselamatkan sementara gereja lain tidak diselamatkan. Gereja Lutheran memang menganut Extra Ecclesiam Nulla Sallus (Di luar Gereja tidak ada keselamatan). Namun yang dimaksud “Gereja” pada slogan itu bukanlah “Gereja Lutheran”, melainkan persekutuan orang kudus, yakni mereka yang percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Akan tetapi, Gereja Lutheran juga tidak inklusif; dalam artian, menganggap doktrin tidak penting atau tidak krusial, sehingga setiap ajaran (dapat) dianggap benar, diperbolehkan, dan/atau tidak dipermasalahkan. Pemikiran seperti itu biasanya menyesatkan jemaat dengan mengatakan bahwa doktrin hanya pemecah belah. Tentu saja itu salah, sebab Tuhan Yesus adalah kebenaran. Dia tidak menoleransi sedikitpun kesesatan di dalam Sorga. Bagi Gereja Lutheran, doktrin Kristen adalah harga mati, tidak dapat ditawar-tawar atau dikompromikan. Yang salah dikatakan salah, yang benar dikatakan benar, yang adiafora dikatakan adiafora. Gereja Lutheran akan dengan lantang mengklaim secara bertanggung-jawab bahwa hanya Gereja Lutheran yang menganut seluruh doktrin Kristen yang sejati sebagaimana yang digarisbesarkan dalam Buku Konkord.

Lantas timbul pertanyaan. Jika doktrin adalah krusial (tidak dapat ditawar-tawar), sementara hanya Gereja Lutheran yang seluruh doktrinnya benar, tidakkah itu berarti bahwa hanya Gereja Lutheran yang diselamatkan? Tidak demikian! Sebab, baik (1) “Doktrin (ajaran Kristen) itu krusial dan tidak dapat ditawar-tawar”, maupun (2) “Setiap orang percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat diselamatkan,” keduanya adalah Firman Allah. Lutheran tidak merekonsiliasi kedua proposisi yang tampak bertentangan tersebut. Sebab jika (1) dan (2) adalah Firman Allah, maka (1) dan (2) masing-masing adalah benar. Kesulitan kita memahami dengan sempurna tidaklah menjadi validasi kebenaran Firman Allah. Dengan demikian, Gereja Lutheran dengan lantang mengatakan suatu ajaran sebagai “ajaran sesat,” atau bahwa seseorang adalah pengajar sesat, namun pada saat yang sama tidak mengklaimnya sebagai penghuni Neraka (apabila ia masih percaya doktrin-doktrin fundamental Kristen, seperti Allah Tritunggal, Dwi Natur Kristus, Keselamatan Hanya Oleh Kristus, dll).

Meskipun terkadang sulit disusun ke dalam runut-runut logika manusia, Firman Allah tetaplah benar karena Allah sendiri yang mengatakannya. Tidak ada dusta pada Allah. Hanya ada kebenaran. Jadi, apapun yang Dia katakan dalam Firman-Nya yang tertulis, yakni Kitab Suci, adalah benar. Oleh sebab itu, kita harus menerima paradoks-paradoks Kitab Suci apabila kita temukan. Kita harus berhenti ketika Kitab Suci berhenti dan bukan malah menempatkan akal budi kita di atas Kitab Suci (magisterial use of reason), melainkan senantiasa menempatkannya di bawah Kitab Suci (ministerial use of reason). Sebagai contoh, Gereja Reformed percaya Predestinasi Ganda, yakni: sejak semulanya Allah telah memilih sebagian orang untuk diselamatkan dan memilih sisanya untuk dihukum kekal. Mereka memiliki banyak buku yang membela pandangan tersebut. Tetapi hal pertama yang dikritik oleh Gereja Lutheran terhadap pandangan tersebut adalah bahwa mereka telah menempatkan akal budi di atas Kitab Suci. Memang benar bahwa Kitab Suci mengatakan bahwa Allah memilih sebagian orang untuk diselamatkan. Tetapi tak sekalipun Kitab Suci mengatakan bahwa Allah memilih sebagian orang untuk dihukum kekal. Sebaliknya, Allah justru menghendaki agar setiap manusia dari seluruh ruang dan waktu diselamatkan. Bagi Reformed itu terdengar konyol, bodoh, tidak masuk akal, dan bahkan sesat. Tetapi Gereja Lutheran lebih memilih dikata-katain demikian daripada mengubah apa yang Kitab Suci katakan sendiri secara literal dan gamblang hanya untuk merekonsiliasinya dalam runut-runut logika manusia. Seorang Pendeta Lutheran Sinode AALC di Amerika Serikat Jordan Cooper mengatakan, “Just because it is logical, that doesn’t necessarily mean it is biblical.” Hanya karena itu logis, tidak langsung berarti itu Alkitabiah. Biarlah paradoks tetap paradoks, misteri tetap misteri.

Paradoks lain dari Kitab Suci yang berkaitan dengan topik artikel ini adalah bahwa orang Kristen itu: sekaligus benar atau dibenarkan, sekaligus tetap berdosa dan senantiasa berdosa (simul justus et peccator, selanjutnya disingkat SJP). SJP berbunyi bahwa orang Kristen adalah orang yang telah dibenarkan oleh karena Kristus (propter Christum) dan hanya melalui iman. Kebenaran yang diperhitungkan kepada orang Kristen (sehingga diperolehnya menjadi miliknya seutuhnya), seutuhnya berasal dari luar dirinya (extra nos), yakni hanya dari Kristus saja. Tidak ada sedikitpun kontribusinya untuk kebenarannya; tidak perbuatan baik, tidak kesalehan, tidak puasa, tidak kerajinan berdoa, tidak penderitaan yang berasal dari luar dirinya, tidak penderitaan yang ia ciptakan sendiri, tidak pula keterhukuman atau kesengsaraan. Sementara orang Kristen adalah orang yang telah dibenarkan, namun pada saat yang sama ia tetaplah merupakan orang yang berdosa; artinya, masih ada tabiat dosa dalam dirinya sekalipun ia telah percaya kepada Kristus. Tabiat dosa ini masih bekerja untuk membimbingnya melakukan dosa. Perlu kita ingat bahwa setiap dosa menggiring pada ketidakpercayaan kepada Allah (murtad dari Kristen).

Mengapa SJP adalah paradoks? Karena orang Kristen adalah orang yang telah dibenarkan, namun pada saat yang sama merupakan orang berdosa, dua realita yang sangat bertolak belakang dan tidak dapat dicampurkan. Frasa “pada saat yang sama” menunjukkan bahwa kedua realita tersebut terjadi bersama-sama pada satu waktu yang sama. SJP tidaklah berarti seperti ini: jam ini sedang tidak berdosa, sebentar lagi berdosa, lalu bertobat dan tidak berdosa lagi, dan seterusnya secara bergantian. Tidak demikian. Tetapi kedua realita (dibenarkan dan tetap berdosa) terjadi bersama-sama. Satu yang perlu sekali kita ingat adalah bahwa kita “benar dan dibenarkan” sama sekali bukan karena diri kita sendiri. Sementara itu, “berdosa dan tetap berdosa” sama sekali adalah karena diri kita sendiri.

Sebagai orang Kristen, kita adalah orang yang tidak berdosa dan tidak mampu berbuat dosa, sebab kita telah mengenakan Kristus. Kebenaran Kristus telah diperhitungkan secara total kepada setiap diri kita. Namun, sebagai diri kita sendiri, kita adalah orang yang berdosa dan hanya mampu melakukan dosa. Kita adalah orang yang malang karena hanya layak menerima penghukuman temporer dan kekal dari Allah. Kita sebagai diri kita sendiri (bukan sebagai orang Kristen) tidak mampu untuk tidak berbuat dosa. Dengan kata lain, kita sebagai diri kita sendiri, hanya mampu berbuat dosa. Sementara kita sebagai orang Kristen adalah orang percaya (believers), kita sebagai diri kita sendiri adalah orang kafir (unbelievers). Karakter unbelievers diri kita senantiasa membuat diri kita berdosa dan pada akhirnya menjadi unbelievers sejati: murtad atau berhenti menjadi orang Kristen: yang tadinya kita punya dua realita (justus dan peccator), kini hanya menjadi satu (peccator).

Memahami semua ini, kita cuma punya satu pencerahan, yakni kita harus waspada terhadap iblis, dunia, dan tabiat berdosa kita. Trilogi ini cuma punya satu tujuan, yakni kita menjadi unbelievers sejati. Apapun akan dilakukan iblis untuk membuat kita berhenti percaya pada Kristus. Salah satu yang sering ia lakukan adalah membingungkan kita dari doktrin Kristen sejati dengan membawa masuk praktik luar (non-Gereja) ke dalam gereja. Misalnya, penggunaan band sebagai musik gereja, layar (slide) di depan gereja, cara beribadah seperti konser, dan lain-lain. Semua itu adalah hal-hal dari luar gereja yang entah maksud apa telah dibawa ke dalam gereja. Akibatnya, orang Kristen bukan hanya tidak lagi mengenal Liturgi, melainkan juga membencinya. Bagi mereka keafdolan ibadah bergantung pada emosi pribadi dan tidak lagi pada Kristus. Pemahaman seperti ini tidak lagi Kristosentris, melainkan egosentris dan antroposentris.


Tadi kita telah membahas Gereja menurut teologi Lutheran. Pertanyaan ini menarik untuk kita bahas lagi: Mengapa Sang Gereja mencakup seluruh kalangan (Lutheran, Reformed, Baptis, Karismatik, Katolik, Ortodoks Timur, dll)? Sebab setiap orang Kristen dari setiap kalangan adalah simul justus et peccator. Artinya, Gereja adalah kumpulan orang benar dan dibenarkan (oleh karena Kristus). Siapapun dia, apapun gerejanya, apabila ia percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat, maka ia adalah anggota Gereja. Status “anggota Gereja” tidak ditentukan dari institusi atau denominasi, tidak pula perbuatan baik. Status “anggota Gereja” hanya ditentukan oleh iman. Inilah sebabnya mengapa Gereja Lutheran percaya bahwa ada orang Kristen sejati di dalam tubuh Gereja Katolik Roma, Reformed, Baptis, Karismatik, dll. Namun demikian, realita ‘peccator’ harus terus menjadi warning. Kita tidak ingin mati sebagai unbelievers. Kita tidak ingin istri/suami dan anak-anak kita mati sebagai unbelievers. Oleh sebab itu, kita harus terus menguji apakah ajaran yang kita anut dan praktik yang biasa kita lakukan adalah ajaran dan praktik yang benar atau setidaknya tidak salah.

Seperti gereja lainnya, Gereja Lutheran mencakup banyak anggota gereja yang cacat doktrinal, praktis, dan moral. Meskipun Gereja Lutheran memegang teguh ajaran Kristen yang sejati, orang-orang di dalamnya terus-menerus dan senantiasa perlu diperingatkan akan keberdosaannya, kesesatan individual, hingga praktik yang salah namun tidak disadarinya. Teolog-Pastor Gereja LCMS Kurt E Marquart, dalam bukunya Anatomy of Explosion menulis, “One must distinguish between false doctrines and systems, and individual Christians caught in such systems.” Kita harus membedakan antara doktrin dan sistem yang salah, dan orang Kristen yang tercakup dalam sistem seperti itu. Dengan kata lain, kekeliruan individu atau kelompok tertentu tidak mendefinisikan suatu gereja. Doktrin atau praktik substansialnyalah yang merupakan definisi gereja tersebut.

Saat ini saya sedang membahas praktik substansial Gereja Lutheran dengan doktrin (teologi) Gereja Lutheran (yang mana keduanya saling berkaitan), dalam hal ini tentang Adven dan Natal. Praktik substansial (asli) Gereja Lutheran adalah: (1) Adven adalah Adven dan Natal adalah Natal, serta (2) Adven dan Natal bukanlah dua hal yang sama atau mirip atau dapat dipersamakan; sehingga (3) Natal tidak seharusnya dirayakan pada masa Adven. Doktrin substansial (asli) Gereja Lutheran adalah bahwa isu ini tidak menentukan keselamatan seseorang, sebab keselamatan hanya oleh karena Kristus dan melalui iman saja. Meskipun isu ini bukan tentang hidup dan mati kekal (tidak berkaitan langsung tentang keselamatan), namun membahas setiap hal yang terkait Kekristenan secara Kristiani adalah baik dan membangun. Sebab, sekali lagi, setiap kali Gereja Lutheran mempresentasikan teologinya, mereka sedang menawarkannya kepada orang lain.


Sadar atau tidak, hal yang pertama kali disebutkan Kitab Suci adalah waktu. “Pada mulanya…”, tulis Musa pada Kejadian 1:1. Selain manusia, hal yang pertama kali dikuduskan oleh Allah adalah waktu, yakni ketika Dia menguduskan hari ketujuh, hari Dia beristirahat (sabat). Manusia tentulah kudus sebab manusia diciptakan segambar dan serupa dengan Allah. Manusia adalah tuhan (penguasa yang melayani) atas segala ciptaan Allah. Setiap ciptaan Tuhan tentulah kudus. Tetapi Allah secara eksplisit menguduskan waktu. Apa signifikansinya buat kita? Yakni agar kita menguduskan waktu yang Tuhan berikan. Bagaimana menguduskan waktu yang Tuhan berikan? Pertama-tama dengan menguduskan hari Sabat. Bagaimana menguduskan hari Sabat? Martin Luther menjelaskan Titah Ketiga sebagai berikut: “Kita harus takut dan cinta kepada Allah, sehingga kita tidak meremehkan firman-Nya dan khotbah tentangnya; tetapi menjaga kekudusannya dan dengan senang hati mendengarkan dan mempelajarinya.” Hari Sabat dikuduskan tidak dengan duduk manis gak ngapa-ngapain pada hari Minggu, melainkan dengan tidak meremehkan firman Allah: datang ke Gereja, mendengarkan khotbah akan Firman Allah, serta mendengarkan dan mempelajari Firman Allah. Kekudusan hari Sabat terletak pada Firman Allah!

Apakah artinya Sabat? Sebagai orang percaya zaman Perjanjian Baru, kita masih menggunakan istilah ‘sabat’, sebab secara literal ‘sabat’ berarti istirahat. Kata ini merujuk mundur peristiwa penciptaan, seperti yang kita bahas barusan, dimana Allah beristirahat pada hari ketujuh setelah melakukan penciptaan selama 6 (enam) hari. Perlu diingat bahwa istirahat Allah bukanlah seperti istirahat manusia. Allah tidak tidur, duduk manis, atau healing. Allah tetap bekerja memelihara ciptaan-Nya. Allah beristirahat dengan mencurahkan kasih-Nya kepada seluruh ciptaan-Nya. Istirahat Allah adalah kelimpahan kasih bagi kita. Sekalipun manusia telah jatuh ke dalam dosa, Dia tetap mencurahkan kasih dan pemeliharaan-Nya kepada manusia. Dia memberikan tanah, hujan, sinar matahari, musim, benih, kemampuan bertani, hingga menjadi makanan bagi manusia. Allah beristirahat dengan bekerja dengan menggunakan setiap instrumen-Nya: petani, pengusaha, pemerintah, dll untuk memberikan kita makanan sehari-hari. Istirahat Allah adalah melimpah ruahnya kasih-Nya atas kita. Tidak hanya kebutuhan jasmani, tetapi juga kebutuhan spiritual, yakni Firman-Nya sendiri, terus menerus dicurahkan-Nya atas kita. Dengan demikian, istirahat Allah dalam hal penciptaan adalah istirahat yang pertama dan terakhir. Allah hadir di sini, di sana, setiap waktu, hanya untuk memelihara kita. Dia tidak duduk manis di luar angkasa seperti yang dibayangkan oleh orang-orang. Dia ada secara nyata (really present) di bumi ini! Kenyataan kehadiran-Nya di bumi ini bahkan lebih nyata dibandingkan kenyataan tubuh kita yang akan memerah jika dicubit.

Saking Dia hadir dan senantiasa hadir di bumi sejak penciptaan, Dia lebih menyatakan kehadiran-Nya di bumi melalui inkarnasi-Nya. Sang Putra Allah, yakni Sang Firman Allah berinkarnasi menjadi daging, menjadi manusia yang menghidupi kehidupan manusia biasa. Dia menjadi manusia hanya untuk menyelamatkan umat manusia dengan menjadi domba korban. Dia adalah Allah kita, Yesus Kristus. Sang Allah ini berkata, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.” (Mat. 11:28). Terjemahan Bahasa Inggrisnya cukup menarik. “Come to me, all who labor and are heavy laden, and I will give you rest.” (Matt. 11:28, ESV). Kristus berkata, “Aku akan memberikan istirahat kepadamu.” Apa maksudnya? Istirahat itu adalah Dia sendiri. Dia seakan-akan mengatakan, “Aku akan memberi Sabat padamu! Yakni, Aku akan memberikan diri-Ku sendiri padamu!” Janji itu dinyatakan ketika Dia mati di kayu Salib, mengatakan, “Sudah selesai.” (Yoh. 19:30). Dia mati dan dikuburkan pada hari Sabat (Sabtu). Tepat ketika Kristus ber-sabat pada hari Sabat, pada saat itulah berakhir tradisi ‘sabat’ Yahudi. Sebab “Sabat” yang dimaksud Allah pada Titahnya yang ketiga (“Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat!”) adalah Yesus Kristus sendiri. Dia beristirahat pada hari Sabat sebab Dia akan menjadi Sabat bagi seluruh umat manusia.

Kristus bangkit pada hari pertama orang Yahudi, yakni satu hari setelah hari Sabat. Hari pertama ini juga disebut sebagai hari kedelapan. Hari kedelapan, yakni hari kebangkitan Kristus, adalah permulaan zaman yang baru. Kristus, Sang Sabat, telah menebus dunia dengan mati di kayu salib. Siapapun yang percaya pada-Nya akan menerima Sabat yang sejati, yakni kelegaan dari upaya keliru untuk memikul dosanya sendiri. Sebab dosanya telah dipikul Sang Sabat dan ia hanya menerima istirahat yang sejati dan kekal. ‘Kekekalan’ ini sungguh-sungguh nyata, sebab Yesus Kristus telah mengerjakan keselamatan sekali dan untuk selamanya, sekali dan untuk semua orang. Mungkin inilah sebabnya mengapa ‘tak hingga’ (inifinity) disimbolkan dengan angka delapan terbalik (∞).

Kristus telah datang. Kristus akan datang lagi nanti pada akhir zaman, momen yang dinanti-nantikan setiap orang percaya dengan sukacita. Tetapi Kristus tidak pernah meninggalkan orang percaya. Dia tidak pernah membuat kita kesepian dan merana seperti anak yatim piatu. Dia berjanji, “apabila dua tiga orang berkumpul di dalam nama-Ku, Aku hadir di tengah-tengah mereka.” Kristus adalah kebenaran dan apapun yang Dia katakan adalah benar. Kristus tidak gagap. Dia bukanlah orang yang tidak tahu apa yang Ia harus katakan untuk menyampaikan maksud-Nya kepada pendengar. Dia mengatakan apa yang Ia ingin katakan. Oleh karena itu, ketika Dia berjanji akan hadir di tengah-tengah kita yang berkumpul di dalam nama-Nya, Dia hadir dan sungguh-sungguh hadir. Kristus telah naik ke Sorga dan duduk di sebelah kanan Bapa; itu benar. Tetapi Sorga bukanlah suatu tempat di luar angkasa sana yang bisa digapai dengan kendaraan canggih. Sorga adalah dimana Allah berada. Dimana Allah berada? Di mana-mana. Dia dapat hadir dengan cara-Nya sendiri, tidak bergantung pada konsep-konsep manusia untuk memasukkan-Nya ke dalam keranjang ciptaan pikirannya. Allah menyatakan kehadiran-Nya bagi umat-Nya dengan cara yang amat khusus ketika Firman-Nya diberitakan dan Sakramen-Nya dilayankan. Martin Luther berkata, “Dextera Dei ubique est!”; yang berarti, “Sebelah kanan Allah adalah dimana-mana.” Kristus naik ke Sorga bukan untuk duduk manis di sana, melainkan untuk beristirahat sebagai Allah dengan hadir dimana-mana dan mencurahkan kasih-Nya kepada Gereja-Nya.

Dimana ada Tuhan Yesus, di situ ada Roh Kudus. Dimana ada Roh Kudus, di situ ada Tuhan Yesus; sebab Roh Kudus tidak melakukan sesuatu yang lain selain hanya menginsyafkan manusia akan dosanya dan membuatnya percaya akan Injil Kristus; agar dia diperdamaikan dengan Bapa oleh karena Kristus. Untuk hal itu, Roh Kudus hanya bekerja di dalam dan melalui Gereja saja. Itulah sebabnya, di luar Gereja tidak ada keselamatan. Bukan karena Gereja-nya (yakni orang/manusianya), melainkan karena Roh Kudusnya. Kita diinsyafkan oleh Roh Kudus melalui Hukum (Dasa Titah) supaya kita dipersiapkan menerima Injil (pengampunan dosa oleh karena Kristus).

Dengan kuasa Roh Kudus pula, Gereja telah menetapkan hari Minggu (hari kedelapan bagi Yahudi) sebagai hari peristirahatan kita dari bekerja selama enam hari. Namun dari sisi lain, Hari Minggu bukanlah hari ketujuh, melainkan hari pertama; sebab hari ketujuh (sabat) Perjanjian Lama telah tergenapi dalam penguburan Kristus. Hari pertama (=kedelapan) ini menunjukkan bahwa Kristus telah beristirahat untuk pertama dan terakhir kalinya (kekal, infinite). Dengan demikian, setiap hari adalah Hari Tuhan. Martin Luther menjelaskan Titah Ketiga dalam Katekismus Besarnya sebagai berikut: “However, this keeping of the Sabbath, I point out, is not restricted to a certain time, as with the Jewish people. It does not have to be just on this or that day. For in itself no one day is better than another [Romans 14:5–6]. Instead, this should be done daily. However, since the masses of people cannot attend every day, there must be at least one day in the week set apart. From ancient times Sunday ‹the Lord’s Day› has been appointed for this purpose. So we also should continue to do the same, in order that everything may be done in an orderly way [1 Corinthians 14:40] and no one may create disorder by starting unnecessary practices.” Bahasa Indonesia: “Bagaimanapun, saya tekankan bahwa menjaga hari Sabat tidaklah dibatasi pada satu waktu tertentu, sebagaimana orang Yahudi. Tidaklah harus pada hari ini atau hari itu saja. Sebab tidak ada hari yang lebih baik daripada hari lainnya [Rm. 14:5-6]. Justru ini [berkumpul dan mendengarkan Firman Allah] harus dilakukan setiap hari. Bagaimanapun, karena orang-orang tidak dapat hadir setiap hari, maka perlu ada sekurang-kurangnya satu hari dikhususkan dalam satu minggu. Pada zaman dahulu, hari Minggu (Hari Tuhan) telah dipilih untuk maksud ini. Jadi kita juga harus melanjutkannya agar segala sesuatu berjalan dengan teratur [1Kor. 14:40] dan tidak boleh ada orang yang menciptakan kekacauan dengan memulai praktik-praktik yang tidak perlu.” Betapa serius Martin Luther untuk meneruskan tradisi-tradisi baik yang telah dibangun Gereja. Orang Kristen tidak ingin terjadi kekacauan dalam urusan spiritual. Orang Kristen tidak ingin ada kebingungan. Orang Kristen ingin keteraturan dan kepastian. Apa yang baik yang telah ada, hendaknya kita teruskan ke anak cucu kita nanti. Satu yang baik yang telah dibangun oleh Gereja melalui pertolongan Roh Kudus adalah Kalender Gerejawi yang mencakup musim Adven dan Natal.

Mungkin ada pertanyaan, “Mengapa kita harus meneruskan tradisi baik tersebut? Berdosakah jika tidak meneruskannya?” Seperti yang kita bahas tadi tentang Simul Justus et Peccator, pada saat yang sama kita adalah unbelievers dalam dan sebagai diri kita sendiri, dan kita adalah orang yang telah dibenarkan oleh karena Kristus. Karakter dan dimensi serta realita unbeliever kita senantiasa mengarahkan kita untuk berbuat dosa dan membimbing kita, perlahan tapi pasti, sampai kita menjadi unbeliever sejati, yakni murtad dari Kekristenan. Itulah sebabnya kita harus bertobat setiap hari dengan merefleksikan diri kita terhadap Hukum Allah (Dasa Titah). Secara personal, kita harus bertobat setiap hari. Dalam keluarga, kita dapat menentukan sendiri waktu ibadah bersama keluarga di rumah sendiri. Semua ini adalah agar kita kembali kepada Allah. Tetapi–saya ulangi lagi di sini–Gereja dengan kuasa Roh Kudus telah membangun Kalender Gerejawi untuk memelihara iman kita sebagai anggota Gereja, mencakup musim Adven, Natal, Epifani, Transfigurasi, Pra-Paskah, Paskah, Kenaikan, Pentakosta, Tritunggal, hingga kembali Adven lagi. Kalender Gerejawi Gereja Lutheran juga mencakup hari-hari perayaan orang-orang kudus, seperti tokoh Alkitab, bapa-bapa Gereja umum, bapa-bapa Gereja Lutheran, dan hari Reformasi. Karenanya, hari demi hari kita jalani secara personal dengan hidup dalam Baptisan, yakni pertobatan setiap hari. Namun bersama-sama dengan seluruh orang percaya di seluruh dunia, kita hidup dalam Baptisan sebagai Sang Gereja. Aku adalah anggota Gereja, kamu adalah anggota Gereja, kita semua adalah anggota Gereja. Kita ingin selalu bersama-sama menerima berkat Tuhan.

(Hidup dalam Baptisan berarti bertobat setiap hari, yakni berefleksi pada Hukum Allah (Dasa Titah), menyesali dosa, dan percaya akan Injil bahwa Kristus telah mati untuk kita. Hidup dalam Baptisan merupakan manifestasi Baptisan Kudus yang telah kita terima dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Seperti Katolik Roma dan Ortodoks Timur, Gereja Lutheran percaya bahwa Baptisan menyelamatkan karena: (1) Kitab Suci sendiri yang mengatakannya (paling eksplisit di 1Ptr. 3:21), (2) Konsili Nikea-Konstantinopel menyatakannya, dan (3) bapa-bapa Gereja bersaksi demikian. Dalam Katekismus Besar, Martin Luther berkata, “Baptisan adalah Pekerjaan Allah.”)

Kita memang “tidak harus” meneruskan tradisi baik (Kalender Gerejawi, Liturgi, dan tradisi lainnya); dalam artian, kita tidak berdosa dan kita tidak masuk Neraka ketika kita tidak melakukannya atau tidak disiplin menghidupinya. Sebab keselamatan itu hanyalah melalui iman di dalam Kristus saja, bukan propter Kalender Gerejawi ataupun tradisi Gereja. Namun demikian, kita “harus” meneruskan tradisi baik tersebut; dalam artian, kita tidak ingin diterkam oleh iblis apabila kita tercerai berai dalam praktik. Kita menyadari betapa lemahnya daging kita dan betapa mudah kita dicelakakan oleh iblis untuk cacat moral dan sesat doktrinal. (Lihat penjelasan Simul Justus et Peccator di atas.) Ingat, “Lex Orandi Lex Credendi“! Bagaimana kita beribadah pada akhirnya menentukan apa yang kita percaya. Orang yang melakukan sinkretisme dengan agama lain pada akhirnya percaya bahwa ada kebenaran spiritual di agama lain tersebut. Orang yang terus menerus beribadah di gereja yang menggunakan band sebagai musiknya pada akhirnya percaya bahwa cara itu adalah cara yang Kristiani. Kita adalah apa yang kita makan. Hati dan pikiran kita sangat dipengaruhi oleh apa yang ditangkap indera kita dan diolah otak kita. Namun, ada kabar baik. Orang Kristen tidak harus menjadi teolog yang studi teologi formal untuk mencari tahu sendiri doktrin Kristen yang sejati, tetapi cukup sekurang-kurangnya dengan menggabungkan dirinya ke dalam Kawanan Domba (Gereja) dan senantiasa ada di sana, mengikuti penggembalaan Kristus yang dilakukan-Nya melalui Roh Kudus, dimana Roh Kudus menggunakan Gereja; dalam hal ini Pendeta, Liturgi, Kalender Gerejawi, Katekismus, tradisi-tradisi Gereja, buku-buku teologi yang benar, dan lain-lain. Kalender Gerejawi adalah untuk memelihara iman kita.

Mungkin pembaca bertanya, “Bukankah Roh Kudus akan tetap menolongku sekalipun aku merayakan Natal pada masa Adven?” Tentu saja. Roh Kudus selalu ada pada dirimu dan menyertaimu senantiasa. Roh Kudus besertamu! Tidak pula kamu berdosa ketika merayakan Natal pada masa Adven. Tidak, kamu tidak berdosa untuk itu. Namun, sekali lagi, kita perlu selalu mengingat Simul Justus et Peccator sebagaimana yang telah kita bahas tadi. Ingat bahwa kita sebagai diri kita adalah orang fasik, berdosa, dan hanya mampu berdosa, serta bertendensi untuk menjadi unbeliever sejati. Jangan kita menganggap sepele kuasa gelap iblis. Dia begitu rajin mengamati kita dan menerkam kita pada momen yang tepat dilihatnya. Seorang teolog Lutheran, Johann Gerhard berkata, “Beri iblis satu inchi, dia akan mengambil satu mil.” Artinya, ketika kita sepele pada satu hal, iblis akan mengambil kesempatan itu seutuhnya dan akan berusaha menipu kita dengan membuat kita tidak sadar bahwa kita telah masuk ke dalam jeratnya.

Gerhard juga berkata, “We are either making progress or losing ground in the way of the Lord; examine thy life daily, therefore, to see whether thou art advancing in the pursuit of godliness or retrograding. To stand still in the way of the Lord is really to retrograde; congratulate thyself, therefore, if thou art not standing still in the course of a godly life, but strive earnestly always to walk forward in the way of the Lord.” Bahasa Indonesia: “Kita ini, kalau tidak berprogres, ya kehilangan jalan Tuhan. Oleh karena itu, ujilah hidupmu setiap hari untuk melihat apakah kamu berkemajuan dalam mengejar kesalehan atau malah mundur. Berdiri diam di jalan Tuhan sesungguhnya adalah mundur. Karenanya, apresiasilah dirimu apabila kamu tidak berdiri diam dalam urusan kehidupan yang saleh, tetapi selalu sungguh-sungguh berjuang berjalan maju di jalan Tuhan.” Tidak ada posisi henti (idle). Kalau tidak maju, ya mundur. Ketika iman kita sedang suam-suam kuku, kita mungkin akan mengira kita sedang dalam posisi stabil, tidak maju dan tidak mundur. Namun itu hanya ilusi. Suam-suam kuku adalah kemunduran!

Apa yang ingin saya katakan dengan semua ini adalah “bahaya.” Betapa berbahayanya menantang iblis. Bukankah malaikat saja (Lucifer) jatuh ke dalam pembangkangan dimana tadinya ia face-to-face dengan Allah? Bukankah Adam juga dalam keadaan sempurna (tidak berdosa dan tidak bercela) saat jatuh ke dalam dosa? Bukankah Petrus juga pada akhirnya menyangkal Yesus? Bukankah Yesus sendiri dicobai iblis (meskipun iblis gagal)? Lantas, kita pikir diri kita ini siapa sehingga kita bisa melawan godaan iblis atau bahkan tidak ada godaan iblis dalam kehidupan kita!? Kita memang tidak berdosa ketika merayakan Natal pada masa Adven. Namun kita sedang menempatkan diri kita pada bahaya. Memang, sekalipun kita menghidupi Kalender Gerejawi dengan baik, atau sekalipun kita tidak merayakan Natal pada masa Adven; itu tidaklah menjadi tanda bahwa iblis sudah pensiun dari pekerjaannya. Tetapi setiap bahaya spiritual tidak dapat diabaikan atau dianggap enteng.

Mari kembali pada pengantar saya di awal. Saya menceritakan sedikit pengalaman saya merayakan Natal pada masa Adven. Apa yang terjadi pada akhirnya? Saya tidak lagi merayakan Natal. Saya sebenarnya hanya menginginkan pesta. Saya hanya menginginkan kemegahan. Saya hanya ingin apresiasi atau pujian dari para hadirin, seperti “Natalnya bagus ya!”. Saya ingin dipuji! Kami tidak sadar bahwa kami telah membanding-bandingkan hasil kerja kami dengan orang lain. Tidak ada lagi Kristus di hati saya. Sekali lagi, saya tidak menginginkan Kristus. Saya hanya menginginkan pesta. Apakah pembaca ikut berintrospeksi? Mari perhatikan kembali bagaimana perayaan-perayaan Natal yang pernah pembaca ikuti. Altar dibuat menjadi panggung, speaker besar disewa dan ditempatkan di setiap sudut gereja, lampu sorot warna-warni membuat gereja menjadi aula, sampah berserakan, dan lain-lain. Apakah semua hal itu direncanakan Gereja sejak abad mula-mula? Tentu saja tidak! Semua hal itu adalah hal-hal dari luar gedung gereja. Namun kita telah membawanya masuk ke dalam gedung gereja. To be clear, musik Band, lampu, panggung, dan sejenisnya adalah baik (fine) untuk acara konser atau pentas seni yang tentunya diadakan di luar gereja. Tapi mengapa kita membawa semua itu masuk ke dalam gereja?

Artikel ini memang fokus membahas waktu sebagai hal pertama yang Allah kuduskan. Tetapi jangan lupa bahwa Allah juga menguduskan ruang tertentu. Allah ingin agar bangsa Israel membangun Bait Allah sebagai tempat Dia menjumpai umat-Nya. Bait Allah, yakni bangunan yang dikhususkan sebagai tempat Allah hadir dengan mode khusus, tidaklah berhenti saat masa Perjanjian Baru dimulai. Tidak! Bait Allah tetap ada di zaman modern ini, yakni gedung gerejaku dan gerejamu. Gereja (gedung) disebut “gereja” karena Gereja bergereja (bersekutu) di sana. Tuhan akan menguduskan setiap tempat dan benda yang Dia maksudkan untuk digunakan dalam pelayanan-Nya kepada umat-Nya. Lantas, mengapa kita bawa masuk hal-hal duniawi ke dalam tempat kudus? Mengapa kita tidak membiarkan segala sesuatu pada tempatnya dan pada waktunya? Pada zaman Gereja mula-mula, altar adalah tempat mahakudus sebab jemaat menerima Perjamuan Kudus di sana. Namun kini tempat mahakudus itu kita buat menjadi panggung. Apakah kita kira pihak Istana Presiden tidak akan mempolisikan kita jika kita menggunakan halaman sebagai tempat yang memuaskan keinginan dan selera kita? Tidak, bukan? Sebelum itu terjadi, TNI sudah menghalau kita. Kalau begitu, mengapa rumah Tuhan seakan-akan lebih rendah derajatnya daripada Istana Presiden? Saya sendiri tidak akan bersedia apabila rumah saya dipakai orang sebagai tempat melakukan sesuatu yang tidak saya restui. Tetapi Allah telah kita anggap sebagai ‘bestie‘. Kita sudah sepele pada Allah, tidak takut dan hormat lagi pada-Nya, sebab Allah tidak segera menghanguskan kita seperti yang Ia lakukan pada Nadab dan Abihu (Imamat 10). Kita lupa bahwa Allah itu mudah tersulut murka-Nya sebab kita hanya ingin menerima bahwa Allah itu juga sabar. Saya pernah merasa ngeri sekali ketika langit sedang merah, seakan-akan sesuatu yang besar akan datang menimpa bumi. Faktanya murka Allah jauh lebih mengerikan daripada sekadar langit merah. Tetapi kita justru menyepelekan Allah dengan berbuat sesuka hati di rumah-Nya. Atau mungkin saja kita membenarkan dosa kita dengan, “Ah, Allah kan pemurah. Tentulah aku diampuni. Toh ini bukan membunuh.” Ya, Allah memang pemurah. Tetapi kita tidak dapat lupa bagaimana mengerikannya akibat dosa kita pada diri kita, sebab betapa kejinya dosa di mata Allah, sampai-sampai harus Allah sendiri yang turun menjadi manusia untuk menyelamatkan kita. Ketika kita tidak membiarkan diri kita dilayani oleh Roh Kudus melalui Gereja-Nya, dalam hal ini Kalender Gerejawi, kita telah menempatkan diri kita dalam bahaya. Memang perbuatan itu bukanlah dosa pada perbuatan itu sendiri. Tetapi hanya orang bodoh yang membiarkan dirinya tetap berada dalam bahaya.

Mungkin pembaca akan bertanya dalam hati, “Kalau begitu, bagaimana kalau Natal tetap dirayakan pada masa Adven, namun pelaksanaannya lebih sederhana dan dipenuhi dengan muatan teologis?” Saya pun pernah melakukan itu, setidaknya menyuarakannya pada seluruh panitia. Sekali lagi, merayakan Natal pada masa Adven bukanlah dosa pada perbuatan itu sendiri. Merayakannya dengan lebih sederhana dan penuh muatan teologis tentulah lebih baik. Namun, kalau memang tulus, mengapa tidak sekalian saja untuk tidak melakukannya?

Ingat kembali bahwa Adven bukanlah sekadar peringatan peristiwa sejarah. Adven adalah momen kebersamaan Gerejawi untuk menantikan kelahiran Kristus. Pada masa ini kita mempersiapkan diri kita menantikan kelahiran Kristus dengan bertobat setiap hari, hal yang tentunya juga kita lakukan di masa lain selain Adven. Adven adalah kesempatan bagi kita untuk merefleksikan diri kita pada Hukum Allah (Dasa Titah) dan menyesali segala dosa kita, hal yang tentunya juga kita lakukan di masa lain selain Adven. Apa yang berbeda dengan hari-hari lain selain Adven adalah bahwa masa Adven dikhususkan buat kita berpengharapan seperti orang Yahudi Perjanjian Lama yang menanti-nantikan kedatangan Mesias. Mereka yakin dan percaya bahwa Mesias akan datang menjadi Juruselamat bagi mereka. Keyakinan mereka akan janji Allah tersebut adalah iman; dan iman mereka itu menyelamatkan mereka. Tak satupun ada orang yang diselamatkan tanpa iman.

Pembaca pikir, apakah yang membuat Simeon begitu tidak ingin mati sebelum melihat Mesias? (Lk. 1:25-26). Yakni kerinduannya menantikan penghiburan bagi Israel. Mengapa ia merindukan itu? Karena ia merenungkan Firman Allah (ia saleh) (ay. 25). Hanya dengan merenungkan Firman Allah kita dapat menyadari betapa berdosanya kita, betapa kita membutuhkan pertolongan, betapa kita membutuhkan Juruselamat, betapa kita menanti-nantikan Kristus. Oleh karena itu, mengapa kita tidak menjadi Maria saja, yang duduk dekat kaki Tuhan (yang berarti mendengarkan pengajaran-Nya), daripada Marta, yang menyibukkan dirinya melayani? (Lk. 10:38-42). Marta pikir, ia sedang melakukan hal benar, namun sayangnya salah. Kita pikir kita sedang berbuat hal benar dengan merayakan Natal pada masa Adven dengan lebih teologis dan tulus. Padahal Kristus ingin agar kita duduk dekat kaki-Nya, mendengarkan Firman-Nya, dan menerima berkat-Nya. Kristus tidak mengatakan Marta telah berdosa dengan sibuk melayani. Sebab Kristus juga makan di rumah-rumah orang. Namun, ketika Kristus sedang ingin memberikan pengajaran kepada mereka, hendaklah setiap orang duduk mendengarkan. Demikian pula kita memang tidak berdosa dengan merayakan Natal pada masa Adven. Tetapi masa Adven adalah momen baik bagi kita untuk bersama-sama mendengarkan Firman Tuhan. Pada masa Adven, jemaat tidak dipanggil untuk sibuk dan tidak fokus. Kita dipanggil untuk mendengarkan Firman Tuhan. Lantas, mengapa kita tidak beristirahat saja pada masa Adven dan menerima Sang Sabat memberikan kita istirahat yang sejati dan kekal? Semakin kita merenungkan Firman Allah, semakin kita merindukan kehadiran-Nya. Semakin kita merenungkan Firman Allah, semakin pula kita menyadari betapa Dia sungguh-sungguh hadir di bumi ini bagi kita, keluarga kita, dan Gereja.

Mungkin ada pertanyaan lanjutan, “Bagaimana dengan gereja (kongregasi) yang ketepatan kuat secara finansial? Mereka dapat merayakan Natal pada masa Adven tanpa memberatkan seorangpun.” Kuat secara finansial satu tidak, bukanlah persoalan. Seperti yang telah kita bahas tadi, siapapun dia, dia perlu duduk dekat kaki Tuhan, mendengarkan perkataan-Nya. Kita hanya perlu merenungkan Firman Tuhan dan bertobat setiap hari. Kita hanya perlu ber-“sabat” (beristirahat) dengan mencurahkan kasih kepada orang lain, yakni salah satunya dengan memberikan sedekah, sebagai teladan Sabat Allah. Lagi pula, kalau memang kuat secara finansial, bukankah uangnya dapat didonasikan kepada kongregasi yang lebih membutuhkan atau kepada anak yatim piatu atau orang miskin? Bukankah uang itu dapat digunakan untuk aktivitas penginjilan ke daerah-daerah yang di dalamnya masih banyak jiwa-jiwa yang hilang? (Gereja Lutheran menjalani Adven dan Pra-Paskah (Lent) dengan berdoa, berpuasa, dan bersedekah. Saya sendiri sebagai Lutheran bukanlah orang yang hebat dalam Adven. Saya adalah orang berdosa dan gagal. Namun oleh kasih karunia Tuhan, saya juga seperti pembaca: tetap belajar.) Jadi, kongregasi seperti itu dapat melakukan hal yang sama.

Kemudian, kalau kongregasi atau komunitas mahasiswa atau komunitas lainnya telah melakukannya namun masih dapat mengadakan acara pada masa Adven dengan tetap duduk dekat kaki Tuhan dan bertobat; mengapa tidak merayakan Adven saja daripada merayakan Natal? Kongregasi seperti itu dapat merayakan Adven dengan berbagai kesenian untuk mengakomodir aspirasi jemaat untuk berkreasi; namun dengan catatan keras: tidak dilakukan di dalam gedung gereja serta tanpa lampu-lampu atau ornamen yang tidak perlu. Biarlah gedung gereja tetap kudus dan khusus.

Untuk lebih menerangkan maksud saya, secara konkrit usul saya begini. Pada Adven I, mungkin dengan penampilan drama penciptaan dan kejatuhan dalam dosa. Pada Adven II, drama Abraham hingga Exodus (Keluaran). Pada Adven III, drama kisah Daud hingga Nabi-nabi besar (Yesaya dan Yeremia). Pada Adven IV, drama kisah Nabi-nabi kecil atau kitab akhir Perjanjian Lama. Semua drama didesain secara Kristologis, yakni mewartakan bayang-bayang dari Kristus yang akan hadir. Lomba Menggambar atau Mewarnai nabi-nabi atau kisah Perjanjian Lama juga dapat diterapkan untuk anak Sekolah Minggu. Paduan Suara ditampilkan dengan lagu-lagu pertobatan. (Partitur himne-himne Advent dalam LSB (Lutheran Service Book) dapat digunakan.) Ada banyak ide yang dapat dilakukan untuk mewadahi aspirasi kreasi. Biarlah talenta yang daripada Tuhan kita persembahkan kembali untuk kemuliaan Tuhan, bukan untuk kemuliaan diri kita.

Kita sudah banyak membahas tentang Natal dan Adven, yakni isu praktis yang harus dipandang secara teologis atau doktrinal. Itulah sebabnya saya perlu menerangkan di awal teologi Kristen (dalam hal ini Lutheran) untuk dapat memahami ajakan Gereja Lutheran kepada seluruh gereja Tuhan untuk bersama-sama merayakan Adven dan Natal pada masanya masing-masing. Kita tidak berdosa ketika merayakan Natal pada masa Adven. Kita hanya berada dalam bahaya, yakni potensi kesesatan atau kekeliruan memahami ajaran Kristen. Bukankah sebagai sesama orang Kristen kita harus saling mengingatkan? Di atas kita sudah membahas Eklesiologi atau teologi tentang Gereja. Saya dan pembaca adalah anggota Gereja. Di dalam Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik, terdapat orang-orang percaya yang berasal dari kalangan Lutheran, Reformed, Baptis, Karismatik, Katolik Roma, Ortodoks Timur, dan lain-lain. Sebagai Lutheran, tanpa mundur sedikitpun dari posisi doktrinal kami yang kami percaya sebagai doktrin Kristen yang sejati; saya ingin mengundang kita semua untuk menyadari bahwa kita semua adalah anak-anak Tuhan dan harus saling mengingatkan dan memberi contoh yang baik. Saya perlu belajar banyak hal dari orang Kristen lainnya, baik dari Lutheran maupun non-Lutheran. Melihat realita di banyak gereja (kongregasi) Lutheran yang melenceng dari tradisi substansialnya, saya mengajak orang Lutheran untuk meneladani Katolik Roma dan Ortodoks Timur. (Teolog-Pastor Lutheran Arthur Carl Piepkorn menyebutkan bahwa gereja Lutheran dapat belajar dari Katolik Roma mengenai Liturgi.) Saya mengajak orang Lutheran untuk meneladani gereja-gereja Karismatik dalam semangat memberitakan injil ke daerah-daerah pelosok. Melihat realita di banyak gereja (kongregasi) Lutheran yang tidak bergairah dalam apologetika, saya juga mengajak orang Lutheran untuk meneladani gereja-gereja Reformed. Melihat realita intra-Lutheran sendiri, saya mengajak orang Lutheran untuk meneladani gereja-gereja Lutheran yang lurus dalam praktiknya. Semua ini adalah manifestasi kewaspadaan Kristiani terhadap karakter unbeliever kita. Kita tidak ingin iblis, dunia, dan tabiat berdosa kita menggiring kita semakin berdosa dan mengarahkan kita untuk menjadi unbelievers sejati.

Akhir kata, saya mengucapkan terima kasih kepada seluruh pembaca, khususnya pembaca yang membacanya dari awal hingga akhir, sebab artikel ini panjang karena saya semampunya mengantisipasi kesalahpahaman. Tak sedikitpun saya bermaksud untuk menghakimi pembaca atau pihak tertentu. Tidak pula saya ingin bertindak seperti Orang Farisi pemberi hukum yang baru (a new lawgiver) dan menempatkan beban yang berat dan tak dapat dipikul di atas bahu orang Kristen. Saya sudah tidak lagi merayakan Natal pada masa Adven dan saya sangat bahagia untuk kemerdekaan ini. Saya beristirahat dengan damai, belajar dan merenungkan Firman Allah, serta menyadari betapa Tuhan kita Yesus Kristus berlimpah-limpah kasih-Nya mengampuni kita, memberikan kita pengampunan dosa melalui Sarana Anugerah-Nya (Firman dan Sakramen). Tetapi saya tidaklah lebih Kristen daripada orang lain yang masih merayakan Natal pada masa Adven. Saya tetap perlu belajar dari mereka mengenai banyak hal. Bagaimanapun, Kalender Gerejawi adalah salah satu alat yang dipakai Roh Kudus untuk memberikan pengajaran Kristen kepada kita. Lantas, mengapa kita tidak menyanyikan partitur yang indah ini? Bukankah komposernya adalah Allah sendiri, sebagaimana waktu demi waktu karya penyelamatan-Nya terjadi dengan menakjubkan dan menjadi nyanyian kekal nan indah?

Selamat Adven!

Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog di WordPress.com

Atas ↑