HKBP dan Ibadah Liturgis-Tradisional (Sebuah Komentar)

Beberapa waktu lalu saya melihat suatu postingan dimana salah satu gereja HKBP mengadakan ibadah yang liturgis-tradisional secara Gereja Barat. Saya berhasil mendapatkan file tata ibadahnya untuk dianalisis. Pembaca dapat memperhatikan file di bawah dan mendapati bahwa tata ibadahnya sangat berbeda dari tata ibadah HKBP sesuai Agenda HKBP. Orang-orang mungkin mengira “seperti Katolik.” Tetapi saya, sebagai seorang Lutheran, tidak berpendapat demikian. Sebab Gereja Lutheran adalah Gereja Katolik, yakni Gereja Barat yang dimurnikan oleh Injil. Segala kemiripan antara liturgi Gereja Lutheran, Gereja Anglikan, dan Gereja Katolik Roma adalah karena ketiga gereja barat mayor (arus utama) ini meneruskan tradisi Gereja Barat; tidak seperti Gereja Reformed, Gereja Unionist (seperti HKBP), dan gereja-gereja Protestan lainnya yang merupakan hasil dari ‘reformasi’ radikal. Oleh karena itu, saya menilai tata ibadah sebagaimana yang dapat dilihat pada file di bawah sebagai “liturgis-tradisional”, bukan “seperti Katolik.” File tata ibadahnya telah saya sensor, sebab saya tidak sedang berurusan personal dengan orang-orang atau pihak yang namanya tertera pada tata ibadah. Artikel ini adalah artikel teologis, kritis, dan dalam pengertian tertentu, akademis. Apabila masih terdapat nama yang belum disensor, saya mohon maaf dan mohon agar diabaikan.

Saya mau singkat saja:

Lex Orandi Lex Credendi

Ibadahmu adalah teologimu. Teologimu menentukan bagaimana kamu berdoa atau beribadah. Meskipun dalam extent tertentu semangat anak muda yang merindukan ibadah liturgis harus diapresiasi, apa yang dilakukan gereja HKBP itu adalah suatu bentuk pembingungan jemaat. HKBP memang mengedukasi jemaat dan anak muda dalam hal bahwa Gereja Kristen yang satu, kudus, katolik, dan apostolik itu sejak semulanya adalah liturgis; yakni dalam ibadahnya, ia penuh penghormatan (reverence) kepada Allah dan iman akan Injil (fidelity) Kristus. Namun HKBP melewatkan satu hal yang penting dan krusial, yakni teologi di belakang liturgi. Sepanjang suatu gereja menolak doktrin Real Presence dalam Perjamuan Tuhan, seliturgis dan setradisional apapun suatu ibadah dilakukannya, semuanya adalah omong kosong. Dengan ‘omong kosong’ saya maksud adalah bentuk atau order ibadah yang tidak memberitakan Kristus yang disalibkan. Bentuk atau order ibadah yang tradisional dan ‘keren’ itu hanyalah “suatu preferensi”, yakni sekadar selera jemaat atau Pendeta. (Tidak cukup ruang untuk menjelaskan bagaimana kaitan doktrin Real Presence dengan Liturgi dan bagaimana hanya doktrin Real Presence yang membuat Liturgi tetap dan harus liturgis. Kiranya cukup kalau saya rekomendasikan buku This is My Body” oleh Hermann Sasse dan Heaven on Earth” oleh Arthur Just.) Jemaat akan bingung, sebab mereka tidak akan pernah tahu dan belajar apa artinya ibadah. Ibadah kontemporer ‘dibolehkan’, tapi ibadah ‘liturgis-tradisional’ juga ‘dibolehkan.’ Mereka akan bertanya, “Bagaimana seharusnya? Bagaimana yang benar? Bagaimana yang lebih baik?” Hanya teologi yang murni yang dapat menjawab pertanyaan tersebut.

Apabila HKBP memang ingin memeluk kembali Liturgi (ibadah) yang liturgis-tradisional, satu hal yang pertama dan terutama harus dilakukan adalah membereskan teologinya. Lex Orandi Lex Credendi. HKBP harus secara resmi mempercayai, mengajarkan, dan mengaku ajaran Kristen bahwa Roti yang dikonsekrasi dengan benar dan Anggur yang dikonsekrasi dengan benar adalah Tubuh dan Darah Kristus secara literal, jasmani, dan supernatural; yang didistribusikan kepada setiap orang, baik yang percaya maupun yang tidak percaya; yang dikunyah oleh gigi-gigi kita dan diteguk oleh kerongkongan kita–namun tidak dengan pengertian Kapernaitis–yakni Kristus yang sama dengan Dia yang berjalan di atas bumi 2000 tahun yang lalu, disiksa, disalibkan, mati, dikuburkan, bangkit, naik ke Sorga, dan duduk di sebelah kanan Bapa. Satu roti adalah satu Kristus yang utuh, satu teguk anggur adalah satu Kristus yang utuh, tidak terpecah-pecah, tidak terbagi-bagi. Semua ini terjadi sesuai dengan ketetapan-Nya sendiri, “Ini adalah tubuh-Ku. Makanlah.” dan “Ini adalah darah-Ku. Minumlah.” Semua ini dilakukan-Nya untuk pengampunan dosa kita, menyatakan kovenan Allah dengan kita–kovenan yang tidak dapat dibatalkan oleh siapapun dan apapun. Setiap kali Perjamuan Tuhan diselenggarakan, kita memberitakan kematian Kristus untuk seluruh dunia dan diaplikasikan-didistribusikan kepada kita melalui Firman dan Sakramen. Setiap kali Perjamuan Tuhan dilakukan, Sorga dan Bumi beririsan dan setiap orang berada pada dimensi yang sama dengan peristiwa salib yang sama untuk penebusan (atonement) yang sama. Liturgi tidak membawa kita naik ke Sorga. Liturgi membawa Sorga turun kepada kita.

Sepanjang HKBP dan gereja lain tidak mempercayai itu, maka semua ketradisionalan yang diterapkan hanyalah sebuah “selera”. Ibadah bukan untuk tradisional-tradisionalan. Ibadah bukan untuk keren-kerenan. Ibadah bukan untuk mengikuti tren. Ibadah adalah Allah melayani kita melalui Firman dan Sakramen. Liturgi memiliki kontennya sendiri yang tidak dapat diangkut keluar, tidak dapat dipisahkan, yakni doktrin Real Presence. Ketika diangkut keluar, Liturgi cuma “tong kosong.” Nyaring memang, tetapi tetap saja kosong. Liturgi bukan sekadar ‘khidmat’, meskipun kekhidmatan adalah salah satu komponennya. Jika hanya soal ‘khidmat,’ ibadah agama Buddha dan Hindu juga khidmat. Kekhidmatan adalah akibat wajar dan niscaya dari doktrin Real Presence. Pada file di atas juga dapat dilihat bahwa unsur kontemporer masih ada; dimana apabila kita lihat video Live Streamingnya, lagu dan musik mereka masih kontemporer, masih “GBI.” Selain kosong, juga tanggung. Dengan istilah sekarang: cringe! Sintua masih memimpin ibadah, padahal seharusnya hanya Pendeta yang memimpin ibadah dari awal hingga akhir. Ada partisi “Liturgi Firman” pada tata ibadahnya, tapi tidak ada “Liturgi Sakramen.” Ini konyol. Itu menunjukkan bahwa mereka masih menganut apa yang cocok pada selera mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang benar. Mereka tidak tahu apa yang benar, sebab mereka tidak percaya atau bahkan tidak tahu apa itu doktrin Real Presence. Mereka tidak mengenali doktrin itu, sebab HKBP sendiri secara official menolaknya. Mereka hampir sama lucunya dengan Gilbert Lumoindong yang mengenakan kasula imam.

Kalau memang HKBP tidak ingin percaya doktrin Real Presence (yakni sebagaimana yang diajarkan dalam Buku Konkord), maka menurut pendapat saya HKBP tidak perlu ‘gaya-gayaan’ kejauhan seperti itu. HKBP cukup kembali menjadi HKBP. HKBP cukup meneruskan dengan sungguh-sungguh liturginya. Artinya, berhentilah menerapkan ‘ibadah kontemporer’, ‘ibadah alternatif’, musik band, aksi panggung, slide, dan hal-hal lainnya yang merupakan upaya membawa masuk hal-hal eksternal gereja ke dalam gedung gereja. Biarlah hal-hal eksternal gereja tetap berada di luar gereja dan jangan dibawa masuk. Meskipun HKBP tidak percaya doktrin Real Presence, Allah bukan tidak hadir di dalam ibadah HKBP. Sebab setiap kali dibacakan “Marhitehite Goar ni Debata Ama dohot Goar ni Anak-Na, Tuhan Jesus Kristus, dohot Goar ni Tondi Parbadia, na tumompa langit dohot tano on. Amen.“, pada saat itu Allah Tritunggal “hadir bagi kita dan hendak memb’ri berkat” untuk melayani jemaat HKBP. Biarlah Allah melayani dengan cara dan sarana-Nya dan tanpa intervensi dari kita. Sebagaimana tak sepantasnya anak muda mendikte Pendeta perihal bagaimana seharusnya ibadah dilakukan, demikian pula jemaat tidak sepantasnya mendikte Allah bagaimana seharusnya ibadah.

Ibadah harus dilakukan sesuai cara dan sarana anugerah-Nya, yakni Firman dan Sakramen. Ibadah harus liturgis, sebab Liturgi adalah Ibadah itu sendiri. Sejak zaman Perjanjian Lama hingga zaman Yesus hingga zaman para Rasul, Bapa-bapa Gereja, Reformasi, hari ini, dan seterusnya; ibadah adalah liturgis, sebab Liturgi adalah sinonim dari ibadah dan ibadah adalah sinonim dari liturgi. Istilah ‘liturgis’ (kata sifat) yang kita kenal sebenarnya adalah hanya untuk mengidentifikasi sesuatu dan membedakannya dari yang lain. Tetapi sejak semulanya ibadah adalah liturgi itu sendiri dan liturgi adalah ibadah itu sendiri, sehingga ibadah harus dan pasti liturgis. Apa yang kita kenal sebagai ‘low church‘ dan ‘high church‘ sebenarnya tidak pernah ada sejak dulunya. Sejak semulanya Gereja adalah ‘high church.’ Kemerosotan cara ibadah yang terjadi sampai hari ini adalah karena pekerjaan iblis yang berusaha membingungkan kita dari doktrin Kristen yang sejati. Segala kemerosotan adalah hasil kerja iblis. Tapi syukur bagi Allah! Meskipun kita tidak pernah beribadah dengan sempurna, sebab mustahil itu terjadi di dunia berdosa ini dan dengan tabiat berdosa kita, Allah tetap hadir di tengah-tengah kita apabila kita berkumpul di dalam nama-Nya. Namun, kita tidak ingin menjadikan kemurahan Allah sebagai ‘izin’ untuk selera dan kesesatan kita. Itulah sebabnya saya tidak menuntut HKBP untuk menjadi sama seperti Gereja Lutheran, Gereja Katolik Roma, dan Gereja Anglikan. Saya percaya Allah hadir di tengah-tengah umat HKBP dan memberkati mereka semua. Saya percaya Allah hadir di dalam Liturgi HKBP, sebagaimana yang kita kenal dari Agenda HKBP. Tetapi saya selalu menyarankan agar anak muda HKBP tetap menjadi HKBP dan tidak menjadi GBI. Saya selalu menyarankan agar anak muda jangan mendikte Pendeta tentang bagaimana seharusnya ibadah itu. Bahkan, anak muda dan jemaat tidak boleh sama sekali mengadakan ibadah. Sebab ibadah adalah domain Pendeta, imam bagi setiap ruas (kongregasi). Dan akan lebih indah lagi apabila Sintua tidak memimpin ibadah.

Unsur ibadah adalah Reverence dan Fidelity, sebagaimana yang telah saya singgung di atas. Reverence membuat kita harus khidmat dan fidelity membuat kekhidmatan itu bermuatan Injil. Ibadah tanpa reverence akan seperti ibadah Karismatik atau GBI. Ibadah tanpa fidelity akan seperti Buddha atau Hindu. Reverence tanpa fidelity adalah pagan (non-Kristen), fidelity tanpa reverence adalah penistaan. Tetapi ibadah dengan keduanya adalah ibadah Kristen, yakni satu-satunya ibadah yang berkenan bagi Allah. Reverence adalah hasil dari pemberitaan Hukum, sedangkan Fidelity adalah hasil dari pemberitaan Injil. Bahkan ibadahpun berkerangka Hukum dan Injil yang keduanya adalah Firman Allah.

Lex Orandi Lex Credendi!

Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog di WordPress.com

Atas ↑